
Hujan turun deras diluar jendela kamar. Sambil duduk ku pandangi
hujan yang jatuh beramai-ramai menyirami bumi. Begitu ramainya sehingga tidak
terhitung berapa banyak mereka turun, byuuuuurrrr ! Seperti ribuan mungkin juga
milyaran jarum meluncur cepat dari langit. Terkadang jatuhnya miring ke kanan
atau ke kiri, mengikuti panggilan lambaian angin kemudian kembali tegak lurus
saat angin berhenti. Itulah hidup, terkadang kita tidak pernah tau kemana kita
akan bermuara. Walau sebenarnya tujuan telah kita tetapkan.
“Nanti kalo abang dah gajian kita jalan-jalan ke Banda Aceh. Adek
boleh belanja sepuasnya”
“Benar Bang ! Wah, sudah lama sekali adek tidak pernah ke Banda”.
“Iya. Adek boleh beli baju lima pasang”
“Wah???? Senangnya, Abang baik banget”.
Sebulan yang lalu, itu janjiku pada istri tercintaku. Tapi sampai
sekarang belum terwujud juga. Sekali saja ! seumur hidup ! Aku ingin
membahagiakan istriku yang telah mendampingi hidup dalam kesulitan tanpa
keluhan dan sampai saat inipun dia tidak pernah menagih janji itu. Malu pada
diriku sendiri, lelaki tanpa modal hanya bekerja serabutan jadi buruh bangunan.
Semakin hanyut aku dalam diam menikmati tingkah hujan turun.
Terbersit difikiran, andai saja rejekiku lancar turun ke bumi seperti hujan !
Mungkin hidup tidak harus berhutang tiap bulan ke warung Po Meurah. Tapi,
itulah hidup ! berapapun banyak keinginan tetap Allah yang diatas sana yang
punya kuasa menetapkan segala ingin jadi kenyataan. Hanya doa yang selalu
terucap dalam simpuh berharap pada Sang Maha Pemberi Rejeki.
“ Ya Allah jika memang rejeki ada di langit turunkanlah, jika
dibumi keluarkanlah, jika jauh dekatkanlah, jika kotor bersihkanlah, jika
lambat lancarkanlah...”. Setiap kali shalat dhuha, doa itu yang selalu
kulantunkan, berharap ada kelancaran rejeki.
Sakit sudah telinga mendengar seribu mulut tetangga membicarakan
hutang-hutangku yang belum ku lunasi. Terkadang aku sudah selebritis di kampung
ini, selalu jadi bahan gosip. Hadeuh !!! bila dipikir-pikir cocoknya sih jadi
salepbetis. Walau sebenarnya aku mengakui bahwa membicarakan orang lain salah
satu bentuk kreatifitas juga. Ya, minimal kreatifitas mengarang biografilah !
Seharusnya mereka berfikir seperti apa yang kufikirkan ! Buat saja
biografi keroyokan tentangku dalam buku yang tercetak rapi, daripada mulut
berbuih tapi tidak dapat honor. Mungkin mereka juga bisa melamar ke stasiun
televisi yang banyak acara gosipnya untuk jadi presenter gosip. Lagi-lagi,
itulah hidup ! tidak semua keinginan kita bisa dimengerti oleh orang lain.
“Sudahlah Bang ?! Jangan terlalu difikirkan ucapan orang lain. Ini
hidup kita, yang penting Abang sudah usaha untuk membiayai hidup kita. Orang
tidak pantas menghakimi hidup kita. Lha wong yang ngomongin kita juga hidupnya
tidak lebih baik dari kita”. Duh, istriku tersayang. Hanya dirimu yang selalu
menyemangatiku untuk selalu menjadi lelaki perkasa menantang dunia. Semoga
engkau selamanya begini dan tetap menjadi bidadariku dunia dan akhirat. Itulah
hidup ! selalu saja ada orang-orang yang mencintai dan mendukung kita disaat orang
lain suka mencaci.
Sebenarnya bukan masalah bagiku jadi bahan cerita orang lain.
Berasa tebal sudah kuping ini. Tidak mempan dengan cemoohan orang-orang yang
sok kaya yang duitnya sering kupinjam untuk menambal kebutuhan sehari-hari.
Masalahnya, semua orang miskin jadi bahan omongan mereka. Sisi kemiskinanku
jadi terganggu ! harga diriku tercabik-cabik. Hinalah diriku yang memang miskin
tapi jangan bawa-bawa saudara-saudaraku yang miskin lainnya. Sepertinya aku
harus segera membuat komunitas orang termiskin di dunia. Biar kita bisa bersatu
padu membalas cacian orang-orang kaya yang tidak berbudi pekerti. Menurutku,
mereka kurang kerjaan saja. Mengoceh simpang siur tanpa manfaat tapi membawa
dosa, daripada banyak bicara lebih baik banyak beramal. Bukankah begitu ?!
Sekali lagi, itulah hidup ! terkadang kita memang lebih banyak berbicara
daripada bekerja.
“Abang, sudah shalat ashar ?” Suara istriku membuyarkan lamunanku
tentang hidup. Kuputar tubuh menghadapnya. Mukena putih terpasang diwajah
cantiknya. Ada bulir-bulir air wudhuk yang tertinggal di lentik bulu matannya.
Tuhan !! Terimakasih telah Kau jadikan ia jodohku.
“Kita shalat jama’ahan ya say ?”
“Ok say ?!” Senyum itu terukir dibibir istriku. Senyum yang selalu
memaniskan pahitnya hidupku.
Hujan sudah berhenti turun, tapi didalam hati ada harapan sebesar
lapangan bola. Semoga Allah tidak berhenti menurunkan rahmat dan karuniaNya
bagi keluargaku. Memberiku rejeki yang cukup. Cukup untuk memperbaiki rumah
yang bocor bila hujan turun. Cukup untuk menyekolahkan anak. Cukup untuk
membayar hutang dan suatu saat nanti cukup untuk naik haji. Aku tidak meminta
untuk jadi orang kaya pada Allah, takut bila nanti aku akan menjadi Tsa’labah
era modern. Untuk yang terakhir kalinya, itulah hidup ! Roda kehidupan selalu
berputar. Saat ini, aku ada dibawah dan orang-orang yang memberi utang kepadaku
berada diatas. Siapa tahu ! suatu saat nanti posisiku berada diatas dan mereka
yang gantian berutang padaku, he...he...he...itulah hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar