Selasa, 26 Agustus 2014

ITULAH HIDUP

Hujan turun deras diluar jendela kamar. Sambil duduk ku pandangi hujan yang jatuh beramai-ramai menyirami bumi. Begitu ramainya sehingga tidak terhitung berapa banyak mereka turun, byuuuuurrrr ! Seperti ribuan mungkin juga milyaran jarum meluncur cepat dari langit. Terkadang jatuhnya miring ke kanan atau ke kiri, mengikuti panggilan lambaian angin kemudian kembali tegak lurus saat angin berhenti. Itulah hidup, terkadang kita tidak pernah tau kemana kita akan bermuara. Walau sebenarnya tujuan telah kita tetapkan.
“Nanti kalo abang dah gajian kita jalan-jalan ke Banda Aceh. Adek boleh belanja sepuasnya”
“Benar Bang ! Wah, sudah lama sekali adek tidak pernah ke Banda”.
“Iya. Adek boleh beli baju lima pasang”
“Wah???? Senangnya, Abang baik banget”.
Sebulan yang lalu, itu janjiku pada istri tercintaku. Tapi sampai sekarang belum terwujud juga. Sekali saja ! seumur hidup ! Aku ingin membahagiakan istriku yang telah mendampingi hidup dalam kesulitan tanpa keluhan dan sampai saat inipun dia tidak pernah menagih janji itu. Malu pada diriku sendiri, lelaki tanpa modal hanya bekerja serabutan jadi buruh bangunan.
Semakin hanyut aku dalam diam menikmati tingkah hujan turun. Terbersit difikiran, andai saja rejekiku lancar turun ke bumi seperti hujan ! Mungkin hidup tidak harus berhutang tiap bulan ke warung Po Meurah. Tapi, itulah hidup ! berapapun banyak keinginan tetap Allah yang diatas sana yang punya kuasa menetapkan segala ingin jadi kenyataan. Hanya doa yang selalu terucap dalam simpuh berharap pada Sang Maha Pemberi Rejeki.
“ Ya Allah jika memang rejeki ada di langit turunkanlah, jika dibumi keluarkanlah, jika jauh dekatkanlah, jika kotor bersihkanlah, jika lambat lancarkanlah...”. Setiap kali shalat dhuha, doa itu yang selalu kulantunkan, berharap ada kelancaran rejeki.
Sakit sudah telinga mendengar seribu mulut tetangga membicarakan hutang-hutangku yang belum ku lunasi. Terkadang aku sudah selebritis di kampung ini, selalu jadi bahan gosip. Hadeuh !!! bila dipikir-pikir cocoknya sih jadi salepbetis. Walau sebenarnya aku mengakui bahwa membicarakan orang lain salah satu bentuk kreatifitas juga. Ya, minimal kreatifitas mengarang biografilah !
Seharusnya mereka berfikir seperti apa yang kufikirkan ! Buat saja biografi keroyokan tentangku dalam buku yang tercetak rapi, daripada mulut berbuih tapi tidak dapat honor. Mungkin mereka juga bisa melamar ke stasiun televisi yang banyak acara gosipnya untuk jadi presenter gosip. Lagi-lagi, itulah hidup ! tidak semua keinginan kita bisa dimengerti oleh orang lain.
“Sudahlah Bang ?! Jangan terlalu difikirkan ucapan orang lain. Ini hidup kita, yang penting Abang sudah usaha untuk membiayai hidup kita. Orang tidak pantas menghakimi hidup kita. Lha wong yang ngomongin kita juga hidupnya tidak lebih baik dari kita”. Duh, istriku tersayang. Hanya dirimu yang selalu menyemangatiku untuk selalu menjadi lelaki perkasa menantang dunia. Semoga engkau selamanya begini dan tetap menjadi bidadariku dunia dan akhirat. Itulah hidup ! selalu saja ada orang-orang yang mencintai dan mendukung kita disaat orang lain suka mencaci.
Sebenarnya bukan masalah bagiku jadi bahan cerita orang lain. Berasa tebal sudah kuping ini. Tidak mempan dengan cemoohan orang-orang yang sok kaya yang duitnya sering kupinjam untuk menambal kebutuhan sehari-hari. Masalahnya, semua orang miskin jadi bahan omongan mereka. Sisi kemiskinanku jadi terganggu ! harga diriku tercabik-cabik. Hinalah diriku yang memang miskin tapi jangan bawa-bawa saudara-saudaraku yang miskin lainnya. Sepertinya aku harus segera membuat komunitas orang termiskin di dunia. Biar kita bisa bersatu padu membalas cacian orang-orang kaya yang tidak berbudi pekerti. Menurutku, mereka kurang kerjaan saja. Mengoceh simpang siur tanpa manfaat tapi membawa dosa, daripada banyak bicara lebih baik banyak beramal. Bukankah begitu ?! Sekali lagi, itulah hidup ! terkadang kita memang lebih banyak berbicara daripada bekerja.
“Abang, sudah shalat ashar ?” Suara istriku membuyarkan lamunanku tentang hidup. Kuputar tubuh menghadapnya. Mukena putih terpasang diwajah cantiknya. Ada bulir-bulir air wudhuk yang tertinggal di lentik bulu matannya. Tuhan !! Terimakasih telah Kau jadikan ia jodohku.
“Kita shalat jama’ahan ya say ?”
“Ok say ?!” Senyum itu terukir dibibir istriku. Senyum yang selalu memaniskan pahitnya hidupku.
Hujan sudah berhenti turun, tapi didalam hati ada harapan sebesar lapangan bola. Semoga Allah tidak berhenti menurunkan rahmat dan karuniaNya bagi keluargaku. Memberiku rejeki yang cukup. Cukup untuk memperbaiki rumah yang bocor bila hujan turun. Cukup untuk menyekolahkan anak. Cukup untuk membayar hutang dan suatu saat nanti cukup untuk naik haji. Aku tidak meminta untuk jadi orang kaya pada Allah, takut bila nanti aku akan menjadi Tsa’labah era modern. Untuk yang terakhir kalinya, itulah hidup ! Roda kehidupan selalu berputar. Saat ini, aku ada dibawah dan orang-orang yang memberi utang kepadaku berada diatas. Siapa tahu ! suatu saat nanti posisiku berada diatas dan mereka yang gantian berutang padaku, he...he...he...itulah hidup.

Tidak ada komentar: